Senin, 30 Mei 2011

KUNINGAN SUMMIT



SEKILAS KUNINGAN SUMMIT 2011
 
        Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang efektif dilaksanakan sejak tahun 2001, meningkatkan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan-pemecahan inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Pemerintah Daerah dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik dasar serta bagaimana meningkatkan kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan.
        Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan asas desentralisasi kewenangan Pemerintah
diserahkan kepada daerah otonom dan daerah otonom diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai kepentingan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, daerah diberi kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan daerah lain dan pihak ketiga.
        Melalui otonomi, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam mempersiapkan seluruh komponen daerah. Pelaksanaan otonomi daerah jelas mempertegas prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi keanekaragaman daerah dan supremasi hukum.
        Dengan kewenangan dan tanggung jawab yang dimiliki, pemerintah daerah perlu menggali, mengolah dan memberdayakan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) daerahnya. Kegiatan
tersebut perlu dilakukan pada seluruh kawasan secara merata baik di perkotaan, perdesaan dan wilayah perbatasan. Agar gerak laju dan dinamika pembangunan menjadi lebih cepat dan kokoh maka diperlukan kerja sama dan koordinasi pembangunan dengan daerah perbatasan.
        Dalam kenyataan, kita mengenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, alasan utama
diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama.
        Kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antardaerah dan daerah tertinggal. Pentingnya kerjasama antar daerah dipicu adanya isu daerah perbatasan yang cenderung memiliki kualitas yang rendah dalam bidang pelayanan publik, sarana dan prasarana pelayanan belum representatif dan rendahnya daya saing. 
       Melalui kerjasama perbatasan diharapkan terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan pelayanan publik.



Isu Daerah Perbatasan
1. KUALITAS PELAYANANPUBLIK MASIH RENDAH
2. SARANA DAN PRASARANA PELAYANAN BELUM MEMENUHI STANDARISASI
3. AKSESIBILITAS MASIH RENDAH
4. TERBATASNYA DAYA SAING
5. TINGGINYA KEMISKINAN AKIBAT KETELISOLIRAN KAWASAN
6. TERBATASNYA LEMBAGA EKONOMI DI PERBATASAN
7. TINGGINYA TINGKAT KERAWANAN – GANGGUAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
8. PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM SECARA BERSAMA;
9. PENATAAN RUANG WILAYAH PERBATASAN;
10. TURUNNYA KUALITAS LINGKUNGAN DAN SDA;

KESEPAKATAN KERJASAMA
- MENINGKATKANKESEJAHTERAAN RAKYAT
- MENGURANGI KESENJANGANANTAR DAERAH
- MENINGKATKAN PELAYANANUMUM

DUKUNGAN PEMERINTAH
PUSAT/PROVINSI
        Kerjasama antar daerah hampir tidak bisa dihindarkan, karena banyak urusan daerah yang tidak bisa dibatasi dalam teritori administratif masing-masing daerah, antara lain karena :
1. Sudah adanya keterkaitan antar daerah;
2. Meningkatkan efisiensi dalam ukuran-ukuran economies of scale (skala ekonomi);
3. Meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan publik;
4. Perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh daerah-daerah;
5. Adanya daerah yang surplus fasilitas/sumber daya; dan
6. Adanya kemungkinan duplikasi pelayanan yang diberikan di beberapa daerah yang berdekatan.

Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.

3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan.

4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.

5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.

6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan.

7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh.

MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud
        Maksud penyusunan Buku Kerjasama Regional Menuju Integrasi Pembangunan Perbatasan Jabar – Jateng – Sebuah Konsep Pembangunan Regional Terpadu - adalah untuk memperkenalkan suatu paradigma baru pembangunan wilayah perbatasan dan mengomunikasikan potensi, permasalahan dan solusi alternatif di wilayah perbatasan kepada seluruh stakeholders.

Tujuan
        Tujuan penyusunan Buku Kerjasama Regional Menuju Integrasi Pembangunan Perbatasan Jabar – Jateng – Sebuah Konsep Pembangunan Regional Terpadu - adalah untuk membangun komitmen dan mewujudkan sinergitas perencanaan dan pembangunan di wilayah perbatasan Jabar Bagian Timur dan Jateng Bagian Barat dengan berpegang pada prinsip efisiensi, efektivitas, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum.

DASAR HUKUM KERJASAMA ANTAR DAERAH

Ketentuan yang menjadi dasar hukum kerjasama antar daerah adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah- Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Barat;
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
  4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
  5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
  6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah;
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah;
  9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 23 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Antardaerah;


KONDISI UMUM KAWASAN PERBATASAN
 REGIIONAL JAWA BARAT – JAWA TENGAH

       Kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan sebuah kondisi yang dapat dilihat dari berbagai perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Permasalahan kesenjangan dalam pembangunan masih didominasi oleh permasalahan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan dan wilayah tertinggal terhadap sarana
dan prasarana sosial ekonomi. Pengembangan wilayah dalam struktur tata ruang Jawa Barat maupun Jawa Tengah sampai saat ini masih terjadi ketimpangan. Dalam konteks wilayah utara-tengah-selatan Jawa Barat, terjadi pemusatan pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat di wilayah utara dan tengah, sementara wilayah perdesaan di selatan Jawa Barat yang seharusnya dikembangkan menjadi wilayah pendukung dari aspek lingkungan dan pertanian agro kurang mendapat sentuhan pemerataan pembangunan.
        Sementara itu di wilayah perbatasan masih terjadi ketidaksetaraan dalam penyediaan sarana dan prasarana dasar permukiman maupun prasarana jalan. Begitu pula pembangunan di wilayah Jawa Tengah
masih menyisakan kesenjangan pada kawasan perbatasan. Sarana dan prasarana wilayah yang meliputi infrastruktur transportasi, sumber daya air dan irigasi, telekomunikasi, listrik dan energi serta sarana dan prasarana dasar permukiman memiliki peran yang penting bagi peningkatan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Namun demikian secara umum kualitas dan cakupan pelayanan sarana dan prasarana wilayah masih rendah dan belum merata. 
        Pada aspek transportasi yang terdiri dari transportasi darat, udara dan laut, rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan antara lain dicirikan dengan rendahnya nilai indeks aksesibilitas dan mobilitas rata-rata
jaringan jalan dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk jaringan jalan provinsi; belum optimalnya kemantapan jalan provinsi terutama di jalur jalan vertikal yang menghubungkan wilayah
tengah dan selatan Jawa Barat; masih kurangnya pembangunan jalan tol; kurangnya penyediaan angkutan massal dan jaringan jalan rel terutama di kawasan perkotaan; belum optimalnya kondisi dan penataan sistem
hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda; belum optimalnya pelayanan bandar udara dalam melayani penerbangan komersial; serta masih terbatasnya fungsi Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan niaga.
Keberadaan infrastruktur sumber daya air dan irigasi juga masih belum memadai, yang dicirikan dengan masih tingginya fluktuasi ketersediaan air permukaan yang menimbulkan banjir dan kekeringan; masih terbatasnya penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan, serta belum optimalnya intensitas penanaman padi akibat rendahnya layanan jaringan dan penyediaan air irigasi.
        Adapun cakupan layanan untuk infrastruktur telekomunikasi belum bisa menjangkau setiap pelosok wilayah, dicirikan dengan adanya beberapa wilayah yang belum terlayani. Khusus untuk layanan jasa telepon  kabel, beberapa daerah perkotaan pada tahun 2005 angka teledensitasnya sudah tinggi, sedangkan untuk beberapa daerah perkotaan dan kabupaten kondisi teledensitasnya masih rendah.
       Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana permukiman seperti, perumahan dan cakupan layanan air bersih masih sangat rendah dicirikan dengan masih banyaknya rumah tangga yang belum bisa memiliki rumah layak huni di perkotaaan dan di perdesaan. Keberadaan prasarana persampahan juga masih belum optimal baik yang layanannya bersifat lokal maupun regional.

KEPENDUDUKAN
        Kondisi kependudukan merupakan keadaan yang berkaitan dengan kondisi demografis pada suatu wilayah. Kondisi kependudukan dapat mencerminkan gambaran potensi sumberdaya manusia dari segi kulitas
dan kuantitas dalam kegiatan pembangunan serta selain itu memiliki hubungan dengan penyediaan fasilitas pelayanan. Penduduk yang jumlah besar merupakan asset bagi pembangunan jika penduduknya berkualitas.
        Akar masalah kesejahteraan adalah bagaimana upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dapat diwujudkan secara berkelanjutan. Kualitas SDM yang baik akan lebih memacu pertumbuhan
ekonomi dan tujuan pembangunan lebih mudah dicapai, dan sebaliknya dengan masih banyaknya SDM yang berkualitas rendah akan menjadi beban dalam proses pembangunan di masa-masa mendatang.
       Berikut ini disajikan Tabel jumlah dan komposisi penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten/Kota Perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun 2010.
        Peran utama dalam proses pembangunan adalah masalah kependudukan yang mencakup antara lain jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk. Penduduk merupakan salah satu modal pembangunan yang dapat berposisi sebagai subyek sekaligus obyek yang potensial bagi suatu wilayah. Keberadaan penduduk dapat menjadi modal yang potensial juga sekaligus dapat menjadi beban pembangunan. Kondisi ini tergantung pada kualitas penduduk yang dimiliki wilayah yang bersangkutan. 
       Permasalahan mendasar yang biasanya terkait dengan penduduk adalah terjadinya ketidakseimbangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan penyediaan sarana pendukungnya yang meliputi sarana pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sektor pembangunan lainnya. Sehingga dalam hal ini perlunya perencanaan yang matang dalam bidang kependudukan maupun penyediaan fasilitas umum demi terciptanya ketercukupan antara kebutuhan penduduk berikut pemenuhannya.
        Berdasarkan tabel dapat diketahui, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat lebih banyak dibandingkan Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cirebon memiliki jumlah penduduk terbesar dibandingkan
kabupaten/kota perbatasan lainnya, sementara Kota Banjar memiliki jumlah penduduk paling kecil. Seperti yang diketahui, jumlah penduduk yang ada merupakan potensi penting dalam pengembangan daerah
perbatasan. 
        Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan strategis merupakan cara terbaik dalam kegiatan mengelola potensi SDA perbatasan yang belum dapat termanfaatkan
secara maksimal.
       Selain itu, untuk mengetahui karakteristik perkembangan jumlah penduduk diperlukan pemahaman terhadap tingkat perkembangan penduduk yang dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik perkembangan jumlah penduduk sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan perkiraan jumlah penduduk pada beberapa tahunmendatang (proyeksi penduduk). Dengan mengamati karakteristik perkembangan laju pertumbuhan penduduk di wilayah perencanaan, maka dapat diperkirakan kecenderungan (trend) pola perkembangan penduduk di masa mendatang. 
        Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk dan tidak meratanya penyebaran penduduk.

KONDISI INFRASTRUKTUR JALAN
        Keberadaan prasarana transportasi misalnya jalan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Pembangunan di daerah terpencil sulit untuk dilaksanakan jika tidak ada akses menuju ke tempat tersebut. Ketersediaan jalan dapat memudahkan pergerakan orang maupun barang serta aktivitas pembangunan lainnya di suatu wilayah yang akan dikembangkan. 
        Secara umum perkembangan wilayah akan mengikuti jaringan jalan. Oleh
karena itu, melalui perencanaan jaringan jalan yang matang bisa tercipta pemerataan pembangunan dan menghindari kesemrawutan wilayah.

A.    Wilayah Perbatasan Jawa Barat Bagian Timur
        Pengembangan wilayah dalam struktur tata ruang Jawa Baratsampai saat ini masih terjadi ketimpangan. Dalam konteks wilayah utaratengah-selatan Jawa Barat, terjadi pemusatan pertumbuhan perkotaan
yang sangat pesat di wilayah utara dan tengah, sementara wilayah perdesaan di selatan Jawa Barat kurang mendapat sentuhan pemerataan pembangunan. Sementara itu di wilayah perbatasan masih terjadi
ketidaksetaraan dalam penyediaan sarana dan prasarana dasar permukiman maupun prasarana jalan.
        Pada tahun 2008, jalan dengan status jalan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat panjangnya 23.138,70 Km. Panjang jalan di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Majalengka, Kota Cirebon dan Kota Banjar masing-masing panjangnya 772,3 Km, 416 Km, 644.16 Km, 715,6 Km, 148,13 Km, dan 189,58 Km. Hal ini berarti panjang jalannya kurang dari 3,5% total panjang jalan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.
       Di antara enam kabupaten/kota yang disebutkan di atas,Kabupaten Majalengka memiliki panjang jalan terpanjang dengan panjang 772,3 Km sedangkan Kota Cirebon memiliki panjang jalan
terpendek dengan panjang 148,13 Km. Kondisi ini berbeda dengan Kota Bandung yang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat. Jalan di Kota Bandung memiliki panjang 1.185,38 Km atau sekitar 5,12% dari total
jalan kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat. Jika dibandingkan juga dengan Kabupaten Bandung yang lokasinya berbatasan dengan Kota Bandung, maka jalan di Kabupaten Bandung panjangnya 3.266,9 Km atau sekitar 14,12%. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa ada ketimpangan dalam kemampuan membangun jalan antara kabupaten/kota yang berada di wilayah perbatasan dengan kabupaten/kota di sekitar Ibukota
Provinsi Jawa Barat.
        Apabila panjang jalan dibandingkan dengan luas wilayah, didapatkan bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki angka perbandingan sebesar 1:1,27. Hal ini berarti, tiap 1 Km jalan di Provinsi Jawa Barat
dapat melayani area seluas 1.270 m2. Namun kenyataanya menunjukan bahwa pelayanan jalan justru lebih banyak bertumpuk di kawasan perkotaan dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Misalnya saja, di
Kabupaten Ciamis didapatkan angka perbandingan 1:2,93 sedangkan di Kota Bandung angka perbandingannya 1:0,14. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa jika dibandingkan dengan Kabupaten Ciamis,
pembangunan di Kota Bandung cenderung lebih cepat karena banyak kawasan-kawasan yang berkembang pesat sehingga membutuhkan pelayanan transportasi yang lebih optimal. 
        Kecenderungan ini menunjukan adanya disparitas antara wilayah yang berada di sekitar
Ibukota Provinsi dengan wilayah perbatasan.

B.    Wilayah Perbatasan Jawa Tengah Bagian Barat
        Secara umum kondisi prasarana wilayah di Provinsi Jawa Tengah masih belum optimal dibanding dengan beban dan peran yang ditetapkan, antara lain sarana-prasarana perhubungan darat khususnya
prasarana jalan dengan kondisi yang belum sepenuhnya baik.
        Pada tahun 2008, jalan dengan status jalan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah panjangnya 25.646,37 Km. Panjang jalan kabupaten di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes masing-masing
1.181,17 Km dan 905,72 Km atau sekitar 5,10% dan 3,91% dari total panjang jalan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini berbeda dengan Kota Semarang yang merupakan Ibukota Provinsi Jawa
Tengah. Jalan di Kota Semarang memiliki panjang 2.778,29 Km atau sekitar 12,01% dari total jalan kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah.
        Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa ada ketimpangan dalam kemampuan membangun jalan antara kabupaten/kota yang tumbuhnya pesat dengan kabupaten/kota yang tumbuhnya lambat.

POTENSI KERJASAMA

        Kerjasama antar Pemerintah Daerah merupakan salah satu dari pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama
antar Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
        Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu :
  1.  apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah    yang bersangkutan, atau
  2.  apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat    berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratifmaupun fungsional.
        Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan di dalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.
        Berdasarkan pasal 195 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyebutkan bahwa "dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja
sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan". beranjak dari dasar tersebut, dan memperhatikan potensi daerah, kiranya perlu dilakukan kerjasama antar daerah di Kabupaten Kuningan. sesuai dengan tata cara kerjasama sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2007 jo. Permendagri nomor 22 tahun 2009,
perlu dibangun kesepakatan antar daerah mengenai bentuk, objek, maupun manfaat kerjasama bagi daerah masing-masing.
        Objek yang dapat dikerjasamakan meliputi seluruh urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom, aset daerah dan potensi daerah serta penyediaan pelayanan umum. Objek kerja sama merupakan faktor
utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kerja sama untuk selanjutnya menentukan pilihan bentuk kerja sama yang akan dilaksanakan.
        Potensi yang dapat menjadi obyek kerjasama antar daerah adalah sebagai berikut :
  1.  Kerjasama di bidang infrastruktur. Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan menghilangkan kesenjangan antar daerah perlu kerjasama pembangunan sarana dan prasarana antar wilayah seperti    pembangunan sarana dan prasarana transportasi sehingga tercipta sinergitas perencanaan dan  pembangunan kawasan perbatasan.
  2. Kerjasama di bidang ekonomi, melalui kerjasama ini dapat dihasilkan peningkatan daya saing       perekonomian global di sekitar kawasan  perbatasann.
  3. Kerjasama di bidang pelayanan publik. Kerjasama ini ditempuh melalui upaya pembangunan sarana dan prasarana di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum. Sasaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas SDM masyarakat di kawasan perbatasan. Kondisi saat ini, masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari permukiman dan minimnya fasilitas yang ada.
        Program prioritas wilayah perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
  1.  Bidang Sosial dan Pemerintahan : a)  Kesehatan, dengan fokus penanganan keluarga miskin; b)  Pendidikan, dengan fokus praktek kerja Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pendataan siswa; c)  Batas wilayah, dengan fokus penetapan batas wilayah dan pembangunan tugu batas.
  2.  Bidang Infrastruktur dan Lingkungan Hidup : a) Penataan Ruang dan Permukiman, dengan fokus koordinasi penataan ruang; b) Lingkungan Hidup, dengan fokus pengelolaan daerah aliran sungai; c) Pengelolaan Sumber Daya Air, dengan fokus pembangunan bendung/waduk dan normalisasi sungai serta rehabilitasi  jaringan irigasi d) Infrastruktur Jalan dan Jembatan, dengan fokus pembangunan dan peningkatan jalan serta    pembangunan   jembatan; e) Perhubungan, dengan fokus pembangunan PJU serta sinkronisasi fungsi dan kelas jalan.
  3.  Bidang Ekonomi :
    a)  Pertanian, dengan fokus pemberantasan hama dan pertanian multi aktivitas (padi – ternak)
         dan relokasi   dan optimalisasi check point ternak dan hasil hutan;
    b)  Perdagangan dan Jasa, dengan fokus pembangunan dan penataan pasar kecamatan;
    c)   Pariwisata, dengan fokus koordinasi dan pengembangan paket wisata.

PENUTUP

        Isu pembangunan kawasan perbatasan semakin gencar seiring dengan fakta adanya berbagai ketimpangan, baik dalam penyediaan infrastruktur dasar maupun kesetaraan pelayanan publik. Kondisi
tersebut merefleksikan bahwa upaya pembangunan yang dilaksanakan ternyata belum mampu secara komprehensif menyentuh persoalan di wilayah perbatasan. 
       Berbagai upaya strategis telah dilakukan, diantaranya Pemerintah Kabupaten Kuningan menggagas Kerjasama Antar Daerah Perbatasan Regional Jawa Barat – Jawa Tengah. Wadah
tersebut bertujuan sebagai wahana mengkomunikasikan potensi dan permasalahan wilayah perbatasan dan mencari solusi alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan bersama sehingga terwujud sinergitas perencanaan pembangunan kawasan perbatasan.
       Semoga dengan terbitnya Buku Kerjasama Regional Menuju Integrasi Pembangunan Perbatasan Jabar – Jateng – Sebuah Konsep Pembangunan Regional Terpadu – terbangun komitmen dan terwujudnya
integritas dan sinergitas perencanaan dan pembangunan di wilayah perbatasan Jabar Bagian Timur dan Jateng Bagian Barat. Maju mundurnya satu daerah juga bergantung pada daerah-daerah
lain, khususnya daerah yang berdekatan. Kerjasama Antar Daerah (KAD) diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antar-daerah menjadi sebuah potensi pembangunan
yang saling menguntungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar